anakbola.net – Seiring perjalanan zaman, sepak bola tidak sekadar menjadi tontonan hiburan bagi pecintanya. Lebih dari itu, olah raga paling popular di dunia ini telah menjelma menjadi sebuah industri yang menggiurkan. Tidak saja di level liga-liga profesional, sepak bola juga menjadi bisnis menjanjikan bagi klub-klub sepak bola amatir dan operator pertandingan kompetitif amatir, termasuk usia dini.
Dengan geliat bisnis yang demikian itu, sepak bola menjadi lahan beragam profesi di luar pemain, pelatih, dan perangkat pertandingan untuk mencari nafkah. Salah satunya adalah fotografer olahraga.
Kehadirannya di pinggir lapangan buat merekam momen-momen epic, membuat perannya begitu dibutuhkan. Tidak saja buat para penggemar bola yang melewatkan kejadian-kejadian menarik saat pertandingan berlangsung, tetapi bagi klub-klub untuk mengabadikan moment atau mendokumentasikan kejadian penting yang dikemas sedemikian rupa hasil jepretean.
Bagi klub-klub sepak bola amatir lewat sport photography selain bisa menjadi modal buat menggaet sponsor juga sebagai upaya menjalin komunikasi dengan para supporter. Dari hasil jepretan fotografer olahraga, para penggemar bisa mengenal lebih dekat aktifitas tim kesayangannya.
Berbeda dari liputan-liputan sebelumnya, kali ini anakbola.net akan mengulik kisah salah satu fotografer olahraga, yakni Selly Pertiwi asal kota Medan, Sumatera Utara. Sebelum terjun ke profesi sport photography, Selly mengawali karirnya sebagai atlet bulu tangkis.
“Saya sebetulnya mantan atlet bulutangkis kota Medan, yaa walaupun prestasinya tidak sehebat atletnya lain. Awal mulanya fotografi ini sebenernya iseng-iseng saja bagi saya, karena suka motoin orang dan jadi hobby. Ya, Alhamdulillah berangkat dari iseng-iseng tersebut sekarang banyak yang mengapreasiasi karya saya,” tuturnya.
“Nah, sebelumnya saya motoin badminton dari tahun 2012 tapi itu belum profesional karena masih belajar terus sambil latihan badminton. Memasuki profesionalnya sejak saya kuliah di Jawa Tengah pada tahun 2015. Dari situ lantas saya terus mengikuti turnamen badminton. Sembari menyaksikan pertandingan, ya sambil memotret. Kebetulan adik saya juga atlet badminton,” sambung Selly.
Kemampuan Selly memotret gelaran turnamen badminton kian terasah. Sampai suatu ketika di tahun 2016 ia memperoleh kepercayaan dari Rektor Universitas Semarang Andy Kridasusila untuk mendokumentasikan event nasional. Sejak saat itu Selly kian dikenal banyak kalangan.
Pandemi virus Corona (COVID-19) memaksa Selly banting setir menjadi fotografer sepakbola/futsal. Pasalnya banyak agenda pertandingan badminton yang diberhentikan untuk sementara waktu.
“Di kala pandemi gini, yang terpenting bagaimana cara mendapatkan pemasukan. Oleh sebab itu saya mencoba jual jasa foto sepakbola/futsal. Berapapun nominalnya saya tetap bersyukur. Apalagi persaingan sangat kencang, dimana banyak yang menjadi fotografer olahraga dadakan. Namun begitu, Alhamdulillah, sampai sekarang masih bisa bertahan,” ungkapnya.
Untuk jasanya memotret tim-tim sepak bola amatir, Selly Pertiwi memasang tarif antara Rp 150 ribu – Rp 300 ribu. Menurutnya dengan harga yang ditawarkannya itu, masih banyak klub yang menganggap terlalu tinggi.
“Di dunia sepak bola harga segitu sudh dibilang mahal lho. Padaahal aku sudah kasih standar untuk menyesuaikan kantong pemain bola di kota Medan,” bebernya.
Selama bergelut dengan dunia sepak bola, disamping memperoleh pendapatan Selly pun mendapatkan pengalaman baru bertemu dan bisa menjalin silaturahmi dengan penggiat dan pecinta sepak bola di daerahnya.
Selama menjalankan aktifitasnya mengabadikan pertandingan di lapangan hijau, dirinya pernah dibuat kaget dengan insiden keributan yang terjadi. Dia pun menghimbau agar para pemain dan ofisial bisa berlaku sportif dan menghindari kekerasan agar kejadian seperti itu tidak terulang lagi.
Sementara khusus bagi kalangan fotografer sepak bola, ia menaruh harap kedepannya tidak saling menjatuh antar rekan seprofesi. Namun tetap bersaing untuk menjadi sport photography yang lebih baik dan profesional. (BSD)