AnakBola – Melalui konferensi pers, Senin (6/1/2025) siang, Ketua Umum PSSI didampingi oleh beberapa Exco mengumumkan pemutusan hubungan kerja dengan Shin Tae-yong sebagai pelatih timnas Indonesia. Pemecatan STY ini tidak dijelaskan secara rinci oleh PSSI. Alasan normatif sesuai hasil evaluasi timnas selama ditangani Coach Shin memunculkan berbagai asumsi publik, mulai dari intervensi mafia bola dan judi hingga soal taktikal maupun kemampuan komunikasi. Jika soal taktikal dan komunikasi, Nova Arianto, asisten STY, menegaskan bahwa hal itu tak pernah menjadi kendala signifikan. Para pemain memahami game plan yang dirancang STU setiap pertandingan.
Mengelola seluruh potensi pemain timnas, Shin Tae-yong jelas memiliki pengalaman mumpuni. Sebagai mantan pelatih timnas Korea Selatan di Piala Dunia, ia juga telah cukup lama membangun kebersamaan dengan timnas Indonesia. Dalam berbagai kesempatan, terlihat betapa harmonisnya hubungan yang terjalin—antara pemain, manajemen, hingga STY sendiri dengan para pemain.
Wajar saja jika hubungan harmonis ini terjalin baik karena pelatih berkebangsaan Korea Selatan ini memberlakukan meritokrasi dalam menentukan skuad maupun line-up pemain. Ketegasan STY pada prinsip meritokrasi ini disinyalir membuat “mafia” pemain titipan tidak nyaman. Selain tidak bisa “menitipkan” pemain, tentu hal ini juga berdampak pada kesulitan mafia melakukan match-fixing yang selama ini diduga menyelimuti sepak bola Indonesia.
Sejak melatih Indonesia, STY memang belum fasih berbahasa Indonesia maupun Inggris. Walau belakangan kita tahu bahwa STY sedang belajar bahasa Indonesia, kita juga harus memahami bahwa beberapa orang kadang tidak mudah belajar bahasa asing. Kendala bahasa ini sebenarnya dapat diatasi dengan penerjemah, yang selama ini membantu STY di timnas. Apalagi, sepak bola adalah bahasa universal. Ingatlah, Jose Mourinho pun mengawali kariernya sebagai penerjemah pelatih di Barcelona. Saat itu, pelatih Barcelona FC juga tidak bisa berbahasa Spanyol. Jika merujuk pada buku Mourinho, semua berjalan baik-baik saja, dan game plan berjalan sesuai keinginan Robson sebagai pelatih.
Sebagai pelatih, STY memang tidak memiliki banyak pilihan pemain dalam menyusun skuad timnas. Lihat saja betapa “njomplang”-nya kualitas pemain lokal, baik dari sikap, skill, maupun kemampuan membaca permainan di lapangan. Kita bisa melihat di AFF Cup yang lalu, kesalahan-kesalahan dasar sangat sering terjadi di lapangan: passing yang error, kontrol yang buruk, support passing yang tidak akurat, dan lain-lain. Dengan kualitas materi seperti itu, rasanya kurang elok jika kegagalan di AFF Cup hanya dibebankan pada STY seorang. Seharusnya PSSI juga mengevaluasi diri: bagaimana program pembinaan pemain di semua level usia belum berjalan.
Kualitas liga bukan cuma butuh VAR, tetapi juga harus mampu melahirkan pemain skill full, dengan visi bermain yang matang. Kemampuan ini tentu tidak bisa hadir begitu saja, melainkan membutuhkan proses di level pembinaan usia dini hingga profesional. Rasanya, menghasilkan pemain dengan sikap, mentalitas, dan skill yang baik serta cerdas menjadi agenda PSSI yang lebih penting dan mendesak untuk segera diakselerasi, daripada memecat STY. Sebab, pergantian pelatih bukanlah solusi jika melihat masih “acak-acakan”-nya pengelolaan sepak bola di Tanah Air.
Pelatih baru juga membutuhkan waktu adaptasi dan memahami sumber daya pemain yang dimilikinya. Sehingga, taktik, strategi, serta skema permainan bisa berjalan. Tidak ada jaminan bahwa pelatih baru nantinya akan lebih baik dari STY.
PSSI perlu bersabar sembari menjalankan program-program pembinaan yang berkelanjutan, memperbaiki liga, serta meningkatkan profesionalisme manajemen semua pemangku kepentingan sepak bola Indonesia. Apapun kondisinya, STY telah berhasil membangun fondasi disiplin, visi, dan peningkatan teknik pemain Indonesia. Secara global, STY juga berhasil menaikkan posisi Indonesia di peringkat FIFA hingga 50 tingkat.
Yang terpenting, selain membawa timnas lolos ke babak 16 besar Asia, putaran ketiga kualifikasi Piala Dunia, dan lainnya, STY juga berhasil membangun kembali harapan kita bahwa Indonesia bisa bersaing di kancah sepak bola dunia. Seperti kata Jay Idzes, “You support, you believe, we are believe.”
Terima kasih, STY. Anda telah mengubah sepak bola Indonesia dari sekadar memiliki suporter “tergila” menjadi tim yang bisa bersaing di Asia maupun Piala Dunia. Sukses selalu, STY. Anda akan selalu ada di hati kami, pecinta sepak bola Indonesia yang ingin sepak bola Indonesia berkualitas, adil, dan profesional.
Mahmuddin Muslim (Pecinta Sepak Bola Indonesia)