Serba Serbi

Sepakbola dan Edukasi Bagi Pesepakbola

AnakBola – Piala Dunia U20 akhirnya resmi batal digelar di Indonesia. Publik , khususnya pecinta sepakbola sejatinya sangat menanti momen spesial ini. Spesial dimana ini adalah hajatan sepakbola level dunia dan juga publik ingin melihat sejauh mana kiprah punggawa U20 di level dunia.

Berbicara tentang sejauhmana level persepakbolaan Indonesia di kancah internasional, saya kira para pembaca dapat dengan mudah mencari rekam jejak timnas di segala level. Hal yang menarik adalah pada beberapa tahun terahir, para agen sepakbola telah berani menawarkan para pesepakbola Indonesia ke klub luar negeri, khususnya di luar wilayah asia tenggara.

Dapat dikatakan, secara umum, kualitas pemain dianggap layak untuk bermain di zona Eropa, meski berada pada liga level kedua atau ketiga suatu negara. Namun yang menjadi pertanyaan, ada pemain yang hingga belasan minggu berada di klub nya namun hanya sekali-dua kali bermain pada kompetisi resmi, bahkan ada yang belum pernah bermain sama sekali. Mengapa hal itu bisa terjadi ?

Sebelumnya, tulisan ini pada awalnya ingin turut menyambut Piala Dunia U20 di Indonesia, dengan membahas sekilas tentang sisi edukasi. Hal yang menarik adalah, saat gelaran itu dicabut oleh FIFA, respon dari seorang Hokky Caraka menjadi viral karena dianggap oleh netizen mengeluh dan putus asa. Selanjutnya, saat di wawancara oleh sebuah acara TV nasional terungkap bahwa dia mengorbankan pendidikan formalnya demi cita-cita di sepakbola. Ketertinggalan sisi edukasi formal itulah yang dianggap sebagai salah satu pembentuk karakter dia saat ini. Semesta telah membuktikan, meski tidak ada gelaran Piala Dunia U20 di Indonesia dan timnas U20 batal menjadi kontestannya, sisi edukasi tetap muncul sebagai sesuatu yang penting untuk diperhatikan. Apakah ini yang menjadi salah satu faktor kualitas pesebakbola muda kita masih jauh dari pesepakbola Eropa? Edukasi?

Sebelum kita mengulas tentang sisi edukasi, saya ingin mengajak untuk sejenak melihat “warna sepakbola” profesional kita. Sejak tahun 90an liga sepakbola Indonesia mulai ramai mengimpor pemain asing, dari Eropa, Amerika Latin, hingga Afrika. Hal yang terangkat dengan adanya pesepakbola asing yang direkrut banyak klub adalah nilai dari sepakbola .

Baca Juga:  Pemain Terbaik, Berlatih Terbaik

Masyarakat penonton sepakbola semakin antusias, sepakbola semakin menarik untuk dicermati di dalam dan diluar lapangan dan tentunya nilai ekonomi dari olahraga tersebut terangkat positif. Namun, dilain sisi, dijumpai dari banyak sumber, serbuan dari pemain asing yang merumput di Indonesia mengakibatkan kesempatan talenta lokal semakin terbatas.

Ada yang meyakini, bahwa timnas yang baik lahir dari liga yang baik. Mungkin liga yang baik tidak berkaitan dengan keberadaan pemain asing. Liga yang baik adalah yang bisa menjadi wadah para pemain lokal seluas-luasnya. Namun jika jam bermain pesepakbola lokal menjadi berkurang karena keberadaan pemain-pemain asing di klub, maka akan berpengaruh terhadap berkembangnya kualitas si pemain. Pada akhirnya, efek negatif terlihat saat stok pemain lokal yang berkualitas untuk kebutuhan timnas tidak banyak, ide naturalisasilah dimunculkan pada sekitar 2012. Semua tampak terhubung, bertautan sebab akibat.

Pada 2018 federasi sepakbola Indonesia meluncurkan Filosofi Sepakbola Indonesia (Filanesia) sebagai standar pendukung pengembangan sepakbola nasional. Sisi edukasi nampak seperti telah mulai ditekankan oleh para elit federasi sepakbola dan para tokoh sepakbola nasional.

Harapan akan dimilikinya lebih banyak pelatih yang terdidik dengan baik, bisa melahirkan lebih banyak pemain yang berkualitas baik. Namun naturalisasi tetap dipilih untuk rencana Piala Dunia U20 2023, kurang lebih 5 tahun setelah Filanesia diluncurkan.

Meskipun kita bisa melihat kekurangseriusan dan inkonsistensi para pemangku kepentingan di sepakbola nasional di sisi edukasi, saya masih belum tergerak untuk menulis tentang hal ini , hingga pada Maret yang lalu, saya secara tidak sengaja membaca artikel legenda Timnas 90an, Kurniawan DJ di media online. Si Kurus, sapaan akrabnya sejak di diklat Salatiga, menyebutkan tentang kelemahan pemain sepakbola Indonesia dibandingkan dengan pesepakbola Eropa itu bukan finishing atau Passing. Artikel tersebut bersumber dari YouTube Como Football Indonesia, meluncurlah saya ke kanal tersebut.

Baca Juga:  Membangun Sikap dan Mental Juara Pemain Usia Dini

Kurniawan menyampaikan bahwa ia merasa kurang mendapatkan edukasi untuk bagaimana menjadi seorang atlet profesional sesungguhnya. Hal ini baru benar-benar tersadarkan olehnya setelah berpuluh tahun kemudian, setelah menjadi pelatih dan itu setelah berkarir sebagai pelatih di Como FC Italia pada 2022. Hal ini menurutnya terjadi kepada pesepakbola di Indonesia, dan menjadi faktor pembeda dengan pesepakbola di negara lain, khususnya di Eropa. Kurniawan tidak bermaksud menyalahkan sepenuhnya kepada para pemain sepakbola, karena dia juga mengalaminya, inilah faktanya yang terjadi.

Saya sepakat dengan pendapat nya tentang perbedaan budaya, salah satu hal yang menjadi pembeda sepakbola Indonesia dengan Eropa. Perlu kita garis bawahi, bahwa secara umum budaya itu muncul dari hasil pemikiran dan pelaksanaan pada suatu masyarakat yang menghasilkan perilaku yang dipandang layak dan dapat diterima sehingga berlaku turun temurun. Namun kembali lagi, untuk membicarakan tentang budaya itu dan menyebarluaskannya, kita juga mesti memperhatikan sisi edukasi, yang dimulai dari para pendidik, para cerdik pandai, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Jika kita membicarakan tentang sepakbola tentunya federasi sepakbola ada di dalamnya dan juga orangtua atlet sebagai guru pembimbing pada awal nya. Kurniawan menyebutnya sebagi pekerjaan rumah untuk kita semua sebagai stakeholder sepakbola untuk mendapatkan hasil yang baik.

Sisi lain yang tidak bisa juga kita sepelekan tentang sisi edukasi bagi para atlet muda, adalah pendampingan mereka sejak usia dini di lingkungan keluarga dan lingkungan sekitar dia tumbuh.

Kita semua tidak boleh hanya fokus dengan pengembangan sisi kepelatihan yang bertemakan aksi di lapangan saja. Untuk menjadi atlet profesional, bahwa yang menjadi pembeda adalah pengetahuan pendukung bagi para atlet. Pola makan, kedisiplinan, tanggung jawab, kepemimpinan, personal branding dan sebagainya. Semua mesti melalui proses yang baik.

Sudah banyak contoh yang menunjukkan bahwa banyak pemain muda yang karirnya kurang berkembang saat di usia emasnya. Laju karirnya terganggu oleh kesalahah perilakunya. Star syndrome, atau sindroma bintang, menjadi salah satu contoh umum. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di negara eropa sekalipun. Gaya hidup yang berubah yang tidak diimbangi oleh kesiapan mental dan pendampingan dari orang-orang terdekatnya, mengakibatkan efek buruk bagi karirnya. Salah satu contoh adalah kasus dugaan pemerkosaan oleh striker muda Manchester United, Mason Greenwood. Sejak dimulainya investigasi pada 2022, hingga meski pada Februari 2023 kasus dihentikan, klub belum memberikan garansi untuknya segera kembali berlatih. Hal yang mirip juga pernah menimpa eks pemain timnas U19 Indonesia, meski belum sampai berurusan dengan hukum, namun masalah mental dan perilakunya masih mengganggu proses ke performa terbaiknya di lapangan.

Baca Juga:  Sepak Bola Antar Kampung (Tarkam) Tak Pernah Padam

Jauh sebelumnya, saya telah mendapat pengakuan yang sama intinya dengan Kurniawan DJ dari beberapa eks pemain sepakbola professional bahwa mereka kurang mendapat pengetahuan yang cukup tentang menjadi pemain sepakbola professional. Hal ini patut direnungkan oleh semua pihak.

Saat mereka menjadi pelatih atau orangtua, jika kurang mempunyai wawasan atau pengetahuan yang luas, juga akan tidak bisa maksimal dalam mendidik dan mendukung anak-anak mereka sebagai atlet. Orangtua dan masyarakat terpaksa harus belajar secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan akan edukasi sepakbola, dimana pemahamannya bisa menjadi tidak seragam. Pada akhirnya para atlet yuniorlah yang akan mendapat efek dari hal-hal tersebut di atas.

Dengan pergantian pengurus federasi sepakbola Indonesia yang baru pada bulan Februari yang lalu, semoga sisi edukasi lebih diperhatikan, diperbanyak kegiatannya, diperluas penyelenggaraannya dan dipermudah aksesnya. Harapan kita, dengan pengelolaan yang terus diperbaiki dan disertai edukasi yang terus dikembangkan, olahraga sepakbola tidak sebatas melahirkan atlet sepakbola professional, namun juga membentuk manusia berkualitas yang siap menjadi profesi apapun di masa depannya. Better knowledges, better football.

Solo, Ramadhan 2023

G.S Nugroho
Pegiat Edukasi Sepakbola
Staf PERSIS Academy Solo
Penulis buku Pengasuhan Bersepakbola

Tampilkan Lainnya

Artikel Lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button