Serba Serbi

Membangun Sikap dan Mental Juara Pemain Usia Dini

anakbola.net –  Pembinaan pemain usia dini, tak hanya melatih anak-anak teknik bermain sepak bola. Pembinaan pemain usia dini juga sebagai ajang pembentukan karakter pemain, baik sebagai anak-anak maupun dalam rangka mempersiapkan mereka menjadi manusia dewasa pada waktunya.

Tentu banyak cara untuk membangun karakter anak-anak. Sekolah sepak bola (SSB) saat ini juga telah melakukan upaya membangun sikap dan karakter anak asuhnya, baik secara otodidak maupun secara sistematis.

Sebagai calon pemain sepak bola, tentu saja sejak usia dini perlu ditanamkan sikap dan mental juara sebagai seorang atlit. Sikap ini harus inheren dalam keseharian anak-anak agar menjadi attitude dalam pergaulan sosial maupun ketika melakoni peran sebagai pemain sepak bola.

Sudah barang tentu, membangun sikap dan mental juara tidaklah semudah membalik telapak taangan, perlu proses yang sistematis dan berkesinambungan. Proses pembangunan sikap dan mental juara juga memerlukan kerjasama dan keterlibatan aktif dari lingkungan anak tersebut. Misal saja, pelatih, managemen, orang tua, guru dan lingkungan terdekat anak tersebut bertumbuh dan bermain. Perlu kiranya Sekolah Sepak bola harus mulai membangun kesamaan cara pandang dan tindakan dari semua stakeholder yang terlibat langsung maupun tidak langsung pada anak-anak.

Cara-cara membangun diskusi berkala atau model komunikasi lainnya diperlukan agar ada kesamaan tujuan dan cara pandang agar anak asuh bisa memiliki mental dan sikap juara. Sikap dan mental juara biasanya disa dilihat dari:

Foto: https://www.istockphoto.com/

Pertama, Disiplin, pemain usia dini harus ditanamkan sikap disiplin. Pemain usia dini harus dibangun budaya disiplin, tak hanya disiplin dengan waktu, namun juga disiplin dengan pola makanan dan asupan gizi yang sehat. Memberikan knowledge maupun awareness pada pemain dan orang tua betapa pentingnya makanan sehat dan asupan gizi seimbang bagi para pemain usia dini.

Pada beberapa kesempatan, pelatih Timnas Indonesia, ShinTae Yong mengeluhkan ketidakdisiplinan beberapa pemain Timnas yang tidak menjaga pola makan dan asupan makan sehat sesuai dengan kebutuhan seorang atlit.

Baca Juga:  Sepak Bola Usia Dini: Merangkai Tutur Kata Kegembiraan

Selain makanan sehat, pemain usia dini juga harus dibangun budaya istirahat/tidur yang cukup terutama menjalani persiapan (latihan) maupun menjelang pertandingan. Kualitas tidur dan istirahat menjadi salah satu faktor penting bagi pemain agar bisa menjadi pemain yang berkualitas pada masa depan.

Foto: https://www.istockphoto.com/

Kedua, sikap dan mental juara selalu percaya pada proses. Biasanya, anak-anak maupun orang tua selalu ingin menjadi juara. Selalu membanding-bandingkan antara A dengan B, sana juara, disini kok kalah terus dan lain sebagainya. Padahal, menjadi juara itu perlu proses dan tahapan yang panjang untuk dilalui.

Tidak ada juara yang datang ujug-ujug. Banyak dari kita, cara berpikirnya seperti memiliki “kantong ajaib doraemon” atau menganggap pelatih maupun SSB itu seperti Sinterklas yang bisa memberikan semua keinginan kita.

Juara adalah proses dari membangun skill, mental dan bisa belajar dari kekalahan-kekalahan yang pernah dialami. Kadang anak-anak menjadi tertekan karena ambisi orang tua, yang secara tidak fair membanding-bandingkan dengan apa yang dilihatnya. Padahal, pembinaan anak atau pemain usia dini yang dilakukan oleh sekolah sepak bola hanya salah satu proses agar anak menjadi seorang juara.

Foto: https://www.istockphoto.com/

Ketiga, mandiri dalam mengurus semua perlengkapan dan keperluan pribadi dalam berlatih maupun bertanding. Sikap dan mental juara, memerlukan kemandirian pemain, bukan pemain manja apalagi cengeng. Sejak usia dini, pemain harus dibangun budaya mandiri, mulai dari mempersiapkan sepatu, kaos kaki, kostum dan perlengkapan lainnya dalam latihan. Pun demikian ketika menghadapi pertandingan, pemain usia dini harus bisa secara mandiri mempersiapkan semua perlengkapan dan kebutuhan pribadi untuk pertandingan.

Pelatih di SSB harus memulai mengajarkan kemandirian ini. Tentu saja, dukungan orang tua dan lingkungan sekitar si pemain juga harus bisa bekerjasama sesuai keinginan pelatih. Jika sejak usia dini, budaya mandiri sudah terbangun, maka ketika beranjak dewasa, si pemain akan memiliki bekal kemandirian untuk semakin matang sesuai usianya.

Keempat, percaya pada pelatih. Bermain sepak bola adalah bermain secara tim. Sepak bola bukan bicara individu-individu, sepak bola itu adalah kebersamaan dan kesolidan semua komponen bekerja secara simultan guna mencapai tujuan. Pelatih tentu saja lebih mengetahui kebutuhan dalam sebuah permainan sepak bola.

Baca Juga:  Cetak Pemain Siap Masuki Kompetisi Profesional, LSI Hadir di 28 Provinsi

Perkembangan kemampuan teknik pemain, sikap, mental dan kemampuan kerjasama secara tim, pelatih lebih memahami. Tidak ada pelatih yang menyusun strategi dan line up pemain berdasarkan karena suka dan tidak suka. Pelatih hanya menyusun strategi dan line up sesuai dengan kebutuhan strategi itu sendiri agar bisa berjalan dalam pertandingan.

Foto: https://www.istockphoto.com/

Disinilah perlu pemahamam pemain dan orang tua, menjadi pemain cadangan itu juga bagian dari strategi dan proses permainan sepak bola itu sendiri. Bahkan jika pemain dicoret sekalipun oleh pelatih, justru harus dijadikan bahan evaluasi kekurangan diri agar bisa diperbaiki. Jangan pernah menyalahkan pelatih. Pemain yang suka menyalahkan pelatih, biasanya dipengaruhi oleh ego dan kesombongan pemain tersebut atau dipengaruhi oleh analisa yang subjektif dari orang tua pemain tersebut.

Duduk menjadi pemain cadangan, dalah proses belajar mengamati dan memahami permainan sesuai keinginan pelatih. Semestinya, ketika menjadi cadangan pemain usia dini harus lebih memperhatikan jalannya pertandingan dan instruksi pelatih, agar ketika masuk sebagai pemain pengganti, kekurangan atau kelemahan tim bisa di perbaiki.

Yang terpenting, permainan sepak bola dalam sebuah pertandingan dibatasi jumlah pemainnya. jika diperbolehkan, tentu pelatih akan memainkan semua pemain, namun sepak bola juga punya aturan dan regulasi yang mungkin tidak bisa mengakomodir keinginan pemain dan orang tua. Disitulah sepak bola menjadi menarik dan dicintai.

Foto: https://www.istockphoto.com/

Kelima, percaya pada tim dan teman. Sepak bola sebagai permainan tim diperlukan kerjasama yang apik antar pemain dalam menjalani instruksi dan strategi pelatih. Tentu saja, sebagai sebuah tim, egoisme dimiliki oleh semua pemain. Sikap dan mental juara adalah bagaimana pemain bisa menekan egoism untuk kepentingan tim. Mendahulukan kepentingan tim dari pada kepentingan pribadi-pribadi. Bisa saja, teman satu tim melakukan kesalahan dalam permainan, tetapi sebagai sebuah tim, pemain tidak boleh saling menyalahkan, evaluasi kesalahan adalah otoritas pelatih.

Baca Juga:  Respect, Belajarlah pada Jurgen Klopp

Sebaiknya pemain, lebih memotivasi teman yang melakukan kesalahan agar bisa lebih baik. Perlu kiranya para pemain menjaga dan memilih kata-kata yang sesuai agar tidak salah difahami oleh teman. Menjaga cara bicara biasanya dipengaruhi oleh lingkungan dimana anak tersebut tumbuh. Orang tua dan lingkungan sekitar anak harus membiasakan berkata-kata baik. Memilih dan menakar kata-kata sangat penting, bisa saja maksud kita bercanda dan sekadar lucu-lucuan, akan tetapi bisa saja itu menyakitkan bagi orang lain.

Keenam, saling menguatkan sebagai sebuah tim tentu menjadi syarat utama agar kekompakan tim bisa terjaga. Jika salah satu teman sedang mengalami masalah, sebaiknya sebagai sebuah tim, para pemainnya salaing men-support atau memberikan solusi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.  Apalagi jika dalam sebuah pertandingan, ketika mengalami kekalahan, jangan pernah saling menyalahkan. Tetapi saling menguatkan agar bisa memperbaiki kesalahan dan kekurangan yang ada. Jika sudah bisa saling menguatkan sebagai sebuah tim, maka, serahkan semuanya pada pelatih untuk melakukan evaluasi dan perbaikan yang diperlukan.

Jangan pernah merasa paling baik dan paling “jago” dalam permainan sepak bola. Kemenangan adalah milik semua pemain, kekalahan adalah milik pelatih. Adagium itu yang harus dijadikan budaya. Sehingga pemain mengetahui porsi dan tanggungjawabnya.

Sebagai pemain sepak bola yang ditonton oleh banyak orang, maka pemain harus bisa menjaga pergaulan dan mudah bergaul dengan siapa saja. Menjaga pergaulan dan tindakan diluar lapangan sepak bola adalah bentuk tanggungjawab sosial pemain pada para penonton.

Foto: https://pixabay.com/

Bagaimanapun juga, pemain sepak bola memiliki penggemar. Pengemar dan penonton sepak bola bukan hanya orang dewasa, tetapi juga anak-anak, maka menjadi tanggungjawab pemain untuk selalu memberikan contoh yang baik dalam pertandingan sepak bola maupun dilaur lapangan sepak bola. Sang juara mesti memiliki tanggungjawab sosial. Menjadi suri teladan dan inspirasi bagi banyak orang. Waalhualam

 

Mahmuddin Muslim, Penggiat Sepak Bola Usia Dini

 

 

Tampilkan Lainnya

Artikel Lainnya

1 Komentar

Leave a Reply to Dr. Suyono Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button